Senin, 12 Januari 2009

PELUANG BEASISWA UNTUK PELAJAR NAHDLIYIN

Eh rekan dah taumi belom ? neh ada kabar bagus untuk pelajar Nahdliyin. Bulan ujan ini ternyata ujang beasiswa jg pada pelajar Nahdliyin. Ada dua jenis beasiswa yang di tawari yaitu hadiah beasiswa pemerintah India untuk PBNU dan beasiswa Rianto dari Wahid Institute (WI). Pemerintah India, melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta, “mengobral” beasiswa untuk kader Nahdlatul Ulama (NU). Tak tanggung-tanggung, beasiswa untuk tahun akademik 2009-2010 yang ditawarkan itu meliputi seluruh jenjang pendidikan, yakni, sarjana (strata 1) magister (strata 2) dan doktor (strata). Keterangan lebih lanjut dan formulir pendaftara silahkan login ke http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15576&category_id=&hal=2. Dan Beasiswa Rianto yang ditujukan untuk tingkat SLTP/M.Ts, SLTA/MA sampai tingkat perguruan tinggi. Keterangan lebih lanjut loginmi saja ke http://www.wahidinstitute.org/Beasiswa. Klo dapat bagi-bagi cess nah !!!!! Sukses rekan !!!.

Minggu, 11 Januari 2009

Salam redaksi !!!!


Assalaamu 'alaikum WR. WB

Heiii... aga tu kareba silong !!! rekan-rekan sekalian nih dia neh situs blog resmi yang dimiliki oleh PW. IPNU SulSel, mudah-mudah dengan kehadiran situs blog ini bisa menjadi media komunikasi dan informasi berbagai info dan kegiatan IPNU yang diadakan di pulau Celebes, baik diadakan oleh Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang di daerah dan PAC-PAC setempat. situs ini akan berisi tentang berbagai aktifitas kegiatan IPNU, profil ulama Sulawesi Selatan, profil pengurus, coretan-coretan tangan kader IPNU yang ingin dipublishing. Carana ? gampangji !! kirim aja tulisan atau kegiatan dan foto kegiatan anda ke email redaksi ipnusulselipnu@ymail.com, selanjutnya konfirmasi ke nomor 085242281443, insya Allah akan kami forward. !! tabe' di' rekan.

Gooo.... Goooo. IPNU Goooo.... !!!!!

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq
wassaalaaam

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (W. 1996)


Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi. Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2) Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya. Latar BelakangPendidikan Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah? Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996). Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar. Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi). Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru. Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu. Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya. Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu. Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso. Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang. Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle. Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang. Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah. Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya. Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha. Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad. Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis. Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi. Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya. Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI. Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar. Hijrah Ke Parepare Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said. Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman. Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar. Diculik Kahar Muzakkar Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar. Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya. Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta. Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu. Kiprahnya dalam Perjuangan Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat. Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana). Hijrah Ke Kaballangan Pinrang Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan. Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan. Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani. Kitab-kitab Karya Gurutta Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt. Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah. Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu) AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun. Kepribadian Gurutta Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta. Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta. Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam. Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya. Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya. Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu. Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos. Detik-detik Terakhir Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong. Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 19992. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986. Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain. Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu. Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik. ** Dikutip dari: http://darisrajih.wordpress.com (Judul asli: Panrita Menembus Semua Zaman).

AGH. MUHAMMAD AS'AD (1906 - 1952)


Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy. Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka. Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M. Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo. Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah: 1. Tahdiriyah, 3 tahun 2. Ibtidaiyah, 4 tahun 3. Tsanawiyah, 3 tahun 4. I’dadiyah, 1 tahun 5. Aliyah, 3 tahun Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone. Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Pengajian khalaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang. Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang. Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang. Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah. AG H. M. As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun. Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan. Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad.**

Sumber Tulisan: http://www.asadiyahsengkang.or.id/index.php

AGH. DAUD ISMAIL (1907 - 2006


AGH Daud Ismail, sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan Lembaga Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907, buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Alquran sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.Pada tahun 1942 istri pertamanya, yang selalu setia mendampingi perjuangan beliau berpulang kerahmatullah di Sengkang. Dari istri pertama beliau ini dikarunia tiga orang anak, yaitu Drs H. Ahmad Daud. Sayang umur anak pertamanya ini tidak berumur sepanjang beliau. Dalam umur menjelang 50 tahun, H Ahmad Daud berpulang kerahmatullah. Semasa hidupnya, Ahmad Daud sempat menjadi Dosen IKIP Ujung Pandang, kini Universitas Negeri Makassar. Anak kedua beliau bernama H Basri. Kepada H Basri Gurutta Daud Ismail menyerahkan pimpinan Pondok Pesantren YASRIB. Namun, lagi-lagi beliau harus kehilangan calon pengganti. H Basri ternyata mendahului sang ayah menghadap Khalik. Salah seorang lagi anak Gurutta dari istri pertamanya juga kini sudah meninggal dunia.Istri kedua Gurutta Daud Ismail bernama Hj. Farida. Dari perkawinannya dengan Hj Farida dikaruniai tiga orang anak. H. Syamsul Huda, Nurul Inayah, sekarang Pegawai Pengadilan Agama di Watang soppeng, dan Rusydi, yang sekarang jadi staf Pegawai BNI di Jakarta.Gurutta Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al quran pada orang tua kandungnya. “Nappaka lao mangngaji pasantren,” (Kemudian saya melanjutkan di pendidikan pesantren) di sejumlah ulama di Sengkang. Kebetulan waktu itu, menurut beliau sudah ada ulama-ulama besar. Antara tahun 1925 – 1929 beliau juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Gurutta Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula beliau belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.Setelah Anre Gurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anre Gurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anre Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle. “Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anre Gurutta Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail.Selama belajar di Sengkang beliau merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arodi, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh beliau karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang beliau dapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan beliau, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.Salah satu kesan mendalam Gurutta Daud Ismail kepada Anre Gurutta As`ad, ketika beliau mengajarkan ilmu Arudhi. Arudhi ini beliau ajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan terkadang sampai jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan satu malam ilmu Arudhi. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab untuk dipelajari sendiri.Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anre Gurutta As`ad dalam mendidik santri-santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudhi, gurutta As’ad hanya memilih sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudhi termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren. Dan menurut Gurutta Daud Ismail, metode itu jugalah yang diterapkan Anre Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle dalam menyusun beberapa kitab.Setelah belajar langsung kepada Anre Gurutta As`ad, di Sengkang beliau kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada gurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah.Setelah membentuk tim pengajar, Anre Gurutta As`ad, menurut penuturan Gurutta Daud Ismail, tidak lagi langsung berhadapan dengan satri baru. Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain.Gurutta Daud Ismail, temasuk santri yang paling disayangi oleh Anre Gurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Beliau tidak diizinkan meninggalkan pesantren. Hingga memasuki masa sulit di mana beliau harus meninggalkan Sengkang.Pada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuat beliau terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat yang beliau hadapi waktu itu adalah berpulangnya kerahmatullah istri beliau, yang pertama. Namun, sayang karena usianya sehingga beliau sendiri sudah lupa siapa nama istri pertamanya itu. Dengan berat hati gurutta As’ad terpaksa harus merelakan kepulangan beliau.Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA).Pada tahun 1944 datang panggilan Datu Pattojo untuk memberikan pendidikan di tempatnya. Sekitar tahun 1945 beliau diangkat menjadi Qadhi Soppeng menggantikan Sayyed Masse (selama 6 tahun) hingga terbentuknya Departemen Agama Kab. Bone pada tahun 1951 yang membawahi wilayah Soppeng. Lalu kemudian diangkat kepenghuluan yang bertempat di Watampone.Karena wasiat dari gurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismai harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, pada tahun 1953 beliau kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI dan pada masa beliaulah MAI diintegrasikan menjadi Al-Madrasatul As’adiyah (MA) untuk mengenang jasa-jasa Anre Gurutta As’ad.Namun. Gurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MA Sengkang, selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan beliau.Di soppeng, K.H. Daud Ismail pernah mendirikan Madrasah Muallimin. Dan pada tahun 1967 diangkat kembali menjadi Qadhi dan membentuk Yayasan Perguruan Islam BOW. Beliau juga pernah membentuk organisasi Badan Amal. Dan hingga sekarang beliau tetap membina Ponpes Yasrib.Adapun karya tangan yang pernah beliau tulis, antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae dan Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis. Yang terakhir ini merupakan karya terbesar beliau.Gurutta Haji Daud Ismail meninggal dunia, Senin malam (21/8) pukul 20:00 Wita di rumah sakit Hikmah Makassar dalam usia 99 tahun, setelah menjalani perawatan selama tiga pekan akibat usia lanjut.

AGH. MUHAMMAD YUNUS MARATAN (1906 - 1986)


AGH Muhammad Yunus Martan (1906 – 1986), adalah pimpinan ke-2 Pesantren As’adiyah, sebagai salah satu pesantren terbesar di Indonesia bagian timur. Didirikan oleh KH. Muhammad As’ad pada 1928. Pesantren As’adiyah adalah pelopor gerakan Islam tradisionalis moderat di Sulawesi Selatan.Gurutta Yunus Martan juga merupakan pendiri Radio Siaran As’adiyah (RSA), dengan tujuan menyebarkan gagasan ke Islaman yang menghargai dinamika masyarakat Sulawesi Selatan yang sangat plural, RSA yang berada pada frekuensi 86.4 AM ini didirikan pada 1967.Gurutta Yunus Martan dinilai tokoh yang paling sukses memimpin Pesantren As’adiyah. Selain berkembangnya cabang-cabang PesantrenAs’adiyah, pendirian radio adalah ide cemerlang yang belum terpikirkan oleh siapapun. Karena itu dulu orang menyebut Gurutta Yunus Martan sebagai kyai yang lahir sebelum zamannya. “Artinya ketika orang lain belum memikirkan radio sebagai media dakwah, beliau sudah memikirkannya. Gurutta meninggal dunia pada tahun 1986.

AGH. MUHAMMAD AHMAD PABBAJA (1908 - sekarang)


AGH Muhammad Abduh Pabbajah (1908 – Sampai sekarang), Salah seorang pendiri Darud Da’wah Wal Irsuad, sekretaris pertama Pengurus Besar DDI. Dan Pemimpin Pesantren DDI Al Furqan Parepare.Ketika Gurutta Ambo Dalle berada dalam lingkungan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, maka Gurutta Pabbajah – lah tampil sebagai Pejabat Ketua Umum sementara DDI mengantikan Gurutta Ambo Dalle, umurnya ditaksir sudah menghampiri seratus tahun.AGH Abduh Pabbajah dan AGH Abdurrachman Ambo Dalle bersama sejumlah ulama Sulsel lainnya mendirikan DDI di Soppeng Riaja tahun 1938. Di antara pendiri DDI, sisa AGH Abduh Pabbajah dan AGH Ali Alyafie yang masih hidup. Alyafie kini menetap di Jakarta.

PROF. DR. KH. ALI YAFIE (1926 - SEKARANG)


Prof KH Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), seorang ulama ahli Fiqh (hukum Islam). Dia ulama yang berpenampilan lembut, ramah dan bijak. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulsel, ini juga terbilang tegas dan konsisten dalam memegang hukum-hukum Islam.Selain aktif di MUI, ulama kelahiran Desa Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926, ini juga menjabat sebagai Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Dewan Penasehat The Habibie Centre. Dia sudah menekuni dunia pendidikan sejak usia 23 tahun hingga hari tuanya. Diatas usia 70 tahun pun ulama yang hobi sepak bola, itu masih aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, antara lain di Universitas Asyafi’iyah, Institut Ilmu Al-Qur’an, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ali berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Sejak kecil dia sudah berkecimpung di dunia pesantren. Ayahnya Mohammad Yafie, seorang pendidik, sudah mendidiknya soal keagamaan dengan memasukkannya ke pesantren.Sang ayah mendorongnya menuntut berbagai ilmu pengetahauan, terutama ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya dari para ulama, termasuk ulama besar Syekh Muhammad Firdaus, yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia. Didikan orang tuanya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tertanam terus sejak kecil hingga kemudian dieruskan dalam mendidik putra-putranya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad.Mantan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauiddin, Makassar (1966-1972), ini mendirikan pesantren itu tahun 1947. Sudah banyak mantan santrinya yang kini telah menjadi orang. Di antaranya Mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, Mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, dan salah satu Ketua MUI Umar Shihab. Dia seorang ulama Nahdlatul Ulama, yang produktif menulis buku. Dia telah menulis beberapa judul buku. Dia ulama yang berpola pikir modern dan tidak tradisional, seperti sebagian pemimpin pondok pesantren. Kiai Ali (panggilan akrabnya), selalu mengedepankan Ukuwah Islamiyah di kalangan umat Islam Indonesia, dan tidak membeda-bedakan dari golongan Islam mana. Kearifan ini membuatnya diterima oleh semua pihak, baik dari kalangan Muhammaddiyah maupun kalangan Nahdatul Ulama, dan lain-lain Salah satu tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini sudah menikah sejak usia 19 tahun. Saat itu, isterinya Hj Aisyah, masih berusia 16 tahun. Kendati menikah muda, mereka mengarungi bahtera mahligai rumah tangga dengan bahagia. Keluarga ini dikaruniai empat anak, yakni Saiful, Hilmy, Azmy dan Badru.Selain pernah aktif sebagai Ketua Dewan Penasehat ICMI, Ketua Yayasan Pengurus Perguruan Tinggi As-Syafiyah (YAPTA), Ketua Umum Majelis Ulama (MUI), Ketua Dewan Penasehat MUI, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), Anggota Dewan Riset Nasional (BDN) dan Guru Besar UIA-IIQ-IAIN, dia juga pernah menjabat sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama Makasar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama.Mantan Dekan Fakultas Usuluddin IAIN Ujung Pandang, ini juga menjadi Anggota DPR/MPR (1971--1987), Anggota Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, Anggota Komite Ahli Perbankan Syariah Bank Indonesia dan Ketua Dewan Syariah Nasional MUI.Atas berbagai pengabdiannya, Kiai Ali, telah menerima Tanda Jasa/Penghargaan Bintang Maha Putra dan Bintang Satya Lencana Pembangunan dari pemerintah RI.*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Sabtu, 10 Januari 2009

DIALOG BUDAYA PW. IPNU SULSEL DAN IAPAN UP MAKASSAR







Makassar, Risalah IPNU SulSel
Lontarak, khazanah sastra klasik yang dimiliki leluhur suku Bugis (to-ugi) di Sulawesi Selatan, kini dihadapkan pada realitas “tenggelam” di tengah arus transformasi tanpa “dinding” budaya di era globalisasi. Melihat situasi seperti ini, Ikatan Alumni Pesantren An-Nahdlah (IAPAN) dan IPNU SulSel menggelar dialog budaya akhir tahun, dengan tema: Relasi Tradisi Lontarak dan Tradisi Pesantren di Kampus I Pesantren An Nahdah, Ahad (28/12).Tradisi Lontarak ini memiliki relasi-hubungan dengan tradisi Islam dan tradisi pesantren. Nilai-nilai tradisi dan budaya lokal mengalami proses asimilasi dan akulturasi bahkan internalisasi dengan ajaran Islam sehingga tidak mengalami perbenturan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang memiliki sejarah panjang dalam dakwah Islam di Indonesia memiliki tanggung jawab memelihara tradisi Islam yang terdapat pada naskah klasik tersebut. Sedikitnya 30-an jilid koleksi lontara kini dimiliki pesantren An Nahdlah dan diharapkan dapat diakses oleh para santri, alumni dan para Pembina pesantren dengan target untuk membangun kesadaran historis kaum santri, dalam menghargai dan mengkaji khazanah leluhurnya yang berkaitan dengan hostorisitas Islam di Sulawesi Selatan. Sejumlah khazanah klasik yang memiliki relasi tradisi lontara dan pesantren diantaranya: Suret-Suret Panggaja Nabi, Pau-paunna Esso Rimunri, Budiistiharah, Riwayatna Tuanta Salamaka. Kegiatan yang dihadiri kurang lebih 1000 orang ini yang menjadi keynote speaker adalah Drs. KH. Muh. Harisah AS, pimpinan Pesantren An Nahdlah UP Makassar dengan moderator Dr Firdaus MA. Pembicara yang hadir diantaranya adalah Drs Muhammad Salim, sejarawan dan budayawan Sulawesi Selatan.

PENDIRI IPNU TUTUP USIA

Jakarta.Drs H Ismail Makky, salah seorang sesepuh dan pendiri organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), pada Ahad (3/8) malam, menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya, Jalan Raba Nomor 9 B Pondok Pinang, Jakarta.
Setelah diistirahatkan sehari di rumah duka, jenazah mantan Ketua Umum IPNU ke-2 ini dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta, Senin (4/8).Asrorun Niam Sholeh, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikatan Alumni IPNU, yang turut memasukkan jenazah dalam liang kubur, menuturkan, Ismail Makky meninggal karena penyakit komplikasi yang sudah lama dirasakannya, juga karena umur beliau yang memang sudah uzur.
“Pak Ismail meninggal pada usia yang sudah uzur, yakni 80 tahun. Di samping itu, komplikasi penyakit yang telah lama beliau rasakan,” ujarnya selepas upacara pemakaman.
Niam menambahkan, semasa hidupnya Ismail Makky mempunyai peranan yang sangat sentral dalam menjalankan organisasi IPNU yang baru dirintisnya bersama-sama beberapa rekannya.
“Beliau itu kiai yang berperan dalam penataan organisasi IPNU. Selepas Pak Tholhah Mansyur, pada tahun 1954, beliaulah yang mengawali penataan dan konsolidasi kembali IPNU,” terangnya.
Ismail Makky, lanjut Niam, termasuk pemimpin yang sederhana dan tidak menonjolkan diri dengan kekayaannya. Hal itu dapat dilihat dari kesehariannya yang penuh dedikasi terhadap permasalahan bangsa, khususnya anak muda NU.
“Beliau itu salah satu mantan Ketua Umum yang sukses, namun rumah persinggahan beliau tampak sedehana sekali. Beliau memang orang yang sederhana,” tandas pria asal Gresik, Jawa Timur ini.
Oleh karena itu, Niam mengharapkan, dedikasi yang selama ini ditunjukkan oleh Ismail Makky dalam membesarkan IPNU hendaknya dijadikan teladan bagi kader-kader IPNU masa sekarang ini. “Dedikasi beliau terhadap IPNU sangat tinggi. Sekalipun sudah udzur, beliau masih menyempatkan diri untuk hadir di acara yang diselenggarakan IPNU.”
Di samping itu, pungkas Niam, hendaknya pengurus IPNU sekarang ini menjalin hubungan yang erat dengan mantan-mantan pengurus IPNU yang sudah sepuh. Selain Asrorun Niam Sholeh, hadir pada upacara pemakaman itu, mantan Ketua IPNU Himy Muhammadiyyah, yang sekarang Ketua Presidium Alumni IPNU, juga nampak mantan-mantan pengurus IPNU dari periode ke periode. (dtm)

Reuni Akbar Alumni Pesantren An Nahdlah UP











Ikatan Alumni Pesantren An Nahdlah (IAPAN) UP Makassar menggelar Reuni Akbar dan Halal bi Halal di Puri Maraja Ballroom Hotel Sahid Jaya Makassar. Acara tesebut dihadiri oleh Pimpinan Pondok Pesantren An Nahdlah UP Makassar Drs. KH. Muh. Harisah AS, Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA sekaligus sebagai pembawa hikmah Halal bi Halal dan Ahmad Baso anggota KOMNAS HAS Pusat yang sekaligus angkatan pertama di Ponpes An Nahdlah. Kegiatan tersebut merupakan puncak rangkaian kegiatan reuni akbar yang sebelumnya didelar berbagai kegiatan diantaranya futsal antar alumni, bazaar dan nonton bareng. Reuni akbar tersebut dihadiri ratusan alumni dari seluruh angkatan. Di sela-sela acara dikukuhkan tim penulis buku Sejarah dan Perkembangan Pesantren An nahdlah yang diketuai Ahmad Baso. Kegiatan Reuni akbar yang ketua panitiai Kahirul Anam HS itu diperkenalkan sejumlah alumni yang berprestasi di berbagai bidang seperti, akademik, guru, muballigh, bisnis, dokter, penulis dan politisi.

CORETANKU UNTUK IPNU SULSEL


KHAIRUL ANAM HS, S.Pd.I
(ketua Umum PW. IPNU SULSEL XI)


Sebuah prestasi gemilang yang diraih pada kongres IPNU 2003 di Surabaya yang kemudian dipertegas di Kongres IPNU 2006 di Jakarta adalah keberhasilan mengembalikan IPNU sebagai organisasi pelajar. Peralihan itu menunjukkan arti penting bagi proses kejelasan “kelamin” IPNU di masa mendatang.
Dalam menghadapi dinamika kehidupan akhir-akhir ini, tampak peran IPNU terutama di Sulawesi Selatan tidak cukup didengar. Ia tampil sebagai organisasi yang berkiprah di kandangnya sendiri, dan belum banyak memberikan peran publik. Hal ini banyak diakui oleh beberapa pihak, termasuk generasi muda NU di Sulawesi Selatan sendiri. Pertanyaannya kemudian, apakah ''kemandulan'' IPNU SulSel disebabkan tidak efektifnya segmen pelajar yang digarap? Atau justru diakibatkan faktor SDM yang tidak mampu mengaktualisasikan lembaga? Yang pasti bukan karena itu semua. Ketidakberdayaan IPNU SulSel diakibatkan oleh ketidakkonsistenan kadernya memegang khittah IPNU. Seharusnya pascakongres dilakukan rencana strategis yang khusus memformulasikan visi kepelajaran yang dimilikinya. Selama tiga tahun berjalan, visi kepelajaran yang dimiliki IPNU SulSel mengambang, atau bahkan berjalan tanpa arah yang jelas. Ini sangat tampak ketika kader di anak cabang dan cabang-cabang yang ada belum begitu paham tentang perubahan kepanjangan akronim ''P'' dari ''putra'' ke ''pelajar''.
Melihat kondisi demikian, setidaknya ada dua PR yang perlu diselesaikan oleh IPNU SulSel. Pertama, menegaskan posisi organisasi kepelajaran yang telah diikrarkannya. Kedua, menggarap dunia kepelajaran secara serius agar peran IPNU semakin jelas.
Kedua PR itu seyogianya bisa selesai sebelum Kongres XVI yang akan digelar Juli 2009.

GERAKAN INTELEKTUAL
Posisi organisasi pelajar di Indonesia sangat efektif dalam menyokong SDM bangsa. Ia berdiri dan berkiprah menguatkan basis pendidikan dan segmen keilmuan. Pendidikan dan keilmuan itu akan menghadirkan karakter bangsa, semacam kemandirian, kesahajaan dan kesatuan persepsi. Jadi arah yang paling ideal bagi IPNU SulSel ke depan adalah mengembangkan format gerakan intelektual. Kita bisa mencontoh Turki dan Mesir yang sadar akan kemundurannya. Ia masuk dalam periode kebangkitan Islam setelah ekspedisi Napolion di Mesir berakhir pada tahun 1801 M. Peristiwa itu membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat. Di sisi lain kemajuan dan kekuatan Barat tidak lagi dipungkiri. Fenomena demikian menjadikan pemerintah dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mulai cari jalan untuk mengembalikan balance of power yang membahayakan Islam. Dengan demikian, timbullah apa yang disebut pemikiran aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam (Muslim Ishak: 1988).
Gerakan intelektual yang dimaksud adalah bagaimana IPNU SulSel mampu memberikan sumbangsih kepada kadernya untuk cinta ilmu sepanjang hayat dan melek terhadap modernisasi. Format gerakan yang nyata adalah doktrinasi arti penting ilmu modern untuk bekal di masa mendatang.Selama ini, NU dipandang sebagai organisasi klasik yang hanya mampu mencetak kiai. Doktor dan profesor yang lahir dari NU juga masih minim. Dengan kiprah kepelajarannya, jiwa cinta ilmu bisa ditanamkan sejak dini kepada kadernya, baik dalam pengkaderan formal maupun nonformal.Ke depan, IPNU tidak lagi bersusah payah mengadakan acara seremonial yang hanya berupa seminar atau semiloka, tetapi dengan SDM pendidikan yang kuat, IPNU mampu menawarkan gagasan brillian untuk disumbangkan pada bangsa.

MEMBANGUN PELAJAR
Secara formal, IPNU sudah mempunyai departemen advokasi pelajar. Tetapi lembaga ini tidak berdaya sedikit pun, sehigga terkesan tidak efektif dan bahkan ada ide untuk menghapusnya. Penulis menilai lembaga tersebut masih sangat penting.
Persoalannya kemudian, bagaimana memberikan bekal dan otoritas penuh bagi kader yang mengelolanya. IPNU SulSel selayaknya mengambil peran strategis mendampingi kasus-kasus pelajar yang muncul di permukaan.
Contoh, Ketika pelajar Aceh tidak begitu diperhatikan, PW. IPNU DIY Aceh tampil mendampingi mereka memperoleh hak pendidikan sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945. IPNU menegaskan sikapnya kepada Pemerintah agar membuat pendidikan darurat pascatsunami.
Yang sedang marak sekarang adalah ancaman moralitas pelajar dari bahaya budaya Barat, seperti kehidupan bebas, glamorisme, dunia malam, dan konsumerisme. IPNU SulSel seharusnya bermain untuk memfilter budaya itu dengan melakukan kajian-kajian akademis. IPNU SulSel tidak melarang budaya lain masuk, tetapi melakukan seleksi dengan melibatkan semua pelajar dan pemuda. Dengan demikian, budaya Indonesia akan tetap tumbuh subur.
Dengan peran demikian, IPNU SulSel mampu menjalankan amanatnya dalam membangun pelajar dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa. Manusia memang butuh pengalaman hidup. Begitu pula IPNU SulSel butuh pengalaman untuk menyelesaikan tugas utamanya dalam membangun pelajar Indonesia.


PENGALAMAN ORGANISASI
· Pengurus Cabang Ikatan Pelajar NU Makassar (2002-2004)
· Pengurus Wilayah Ikatan Pelajar NU Sulawesi Selatan (2006-Sekarang)
· Ketua Rayon Fak. Tarbiyah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) (2004-2005)
· Ketua II Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UIN Alauddin (2006-2007)
· Sekertaris Umum Ikatan Alumni Pesantren AnNahdlah (IAPAN) (2006-Sekarang)
· Ketua Umum BEM Fak. Tarbiyah & Keguruan UIN Alauddin (2006-2007)
· Ketua Bidang Penalaran PP IMAKIPSI (Ikatan Mahasiswa Kependidikan Indonesia) Pusat (2007– sekarang)
·












KONFRENSI WILAYAH PW. IPNU SULSEL DI GELAR DI GEDUNG NU SULSEL




Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar nahdlatul Ulama (PW. IPNU) SulSel mengadakan Konfrensi Wilayah ke X pada hari/tanggal 22 November 2008, kegiatan ini dilaksanakan di Gedung NU Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 9 Makassar dan hadiri oleh ratusan keder IPNU dari seluruh perwakilan cabang IPNU se-Sulawesi Selatan. Hadir pada kegiatan tersebut AG. H. Sanusi Baco Lc (Rois Syuriah NU Sulawesi Selatan) sekaligus tampil membawakan mauidhoh hasanah , para pembina IPNU SulSel Dr. H. Abd. Kadir Ahmad, MA, Prof. Dr. H. Arfin Hamid, SH. MH, H.Muisriadi Muhammadiyah, M.Si, H. Alimuddin HD, M.Ag dan Abd. Aziz Hasan, S.Pd. Kegiatan ini merupakan wadah musyawarah tertinggi organisasi Pimpinan Wilayah IPNU SulSel untuk memilih ketua umum baru dalam mengembangkan IPNU di Sulawesi Selatan. Adapun yang tepilih sebagai ketua umum PW. IPNU Sul-Sel ialah rekan Khairul Anam HS, S.Pd.I setelah memperoleh 8 suara mengalahkan A.M. Taqiuddin SE yang hanya memperoleh 4 suara. Dalam sela-sela kegiatan tersebut Anam yang sementara ini melanjutkan Studynya di Pasca S2 UIN Alauddin Alauddin ini tuturnya, sebagai ketua terpilih ia akan mengaktifkan PC-PC IPNU di daerah yang selama ini tidak aktif sebagai prioritas kepengurusannya dua tahun kedepan.
GO…IPNU..GO…. !!!!!!